12.20.2005

Dari Negeri Jiran, Suara Jujur Kebenaran

Saya terpukau.

Dalam beberapa kesempatan hidup ini saya cenderung melihat Malaysia sebagai negara yang ideal. sempat terlontar juga dari almarhum Ibu, "kita tinggal di Malaysia saja yuk!"

Tapi saya tak pernah bisa menerima itu. Bagi saya Indonesia tetap rumah.

Namun pandangan mengidealkan Malaysia nyaris tak pernah hilang dari kepala saya. Bahkan ketika orang berkata, di Malaysia pemerintahannya represif dan tak demokratis.

Hingga saya tak sengaja bertemu dengan blok Longgok 18 Zizie Ali. Blog ini menampilkan karya-karya terkini seorang penyair negeri jiran itu yang bernama Zizie Ali.

Dan saya terpukau.

Ada kejujuran yang cukup dahsyat di sana. Dalam kata-katanya saya terbayang sosok kritis Chairil Anwar atau W.S. Rendra.

Apakah Ncik Zizie pernah dengar juga tentang mereka?

usahlah kerana takut

usahlah kerana takut
ahli bahasa membuang kosa kata
reformasi dan keadilan
dari kamus dewan.

usahlah kerana takut
sasterawan terus berkata
shit bukan karya sastera.

usahlah kerana takut
ulamak lantas bersetuju
nabi tidak mencukur janggut baginda
kerana gillete belum tercipta.

usahlah kerana takut
kita semua terus mengangguk...


Ada juga melankoli di sana.

nostalgia pra-sekolah

menurut satu riwayat
ketika usia lima tahun
osama di hantar bapanya
di sebuat taski hulu langat.

ada pula yang mengatakan
dia pernah belajar
di sebuah pasti di kota bharu.

namun yang pasti
laden tidak pernah menghantar anaknya
di mana-mana tadika kemas.

kata seorang guru kelas kemas:
"kalau di hantar ke tadika kemas
osama tak akan jadi pengganas"


Saya, jujur saja, terpukau dengan kejujuran Zizie Ali.

(Sambil diam-diam iri karena belum juga sanggup berpuisi seindah dan setajam itu)

11.28.2005

Tabur garam ke luka, Tuang api ke bara!

Dear Dewi,

Pertama gw mau bilang congrats! Karena sudah berani menyusun kata-kata dalam apa yang disebut sebagai puisi.

Kedua, jangan menyerah! Apapun yang dikatakan orang soal puisi.

Pujian jangan jadi helium yang menggelembungkan kepala, kritikan jangan juga dijadikan jarum yang mengempiskan semangat.

Sudah dua itu, sekarang gw mau memulai sok tahu dan mengomentari puisi-puisi yang lo kirimin.

:p

Sebelumnya gw kutipkan dulu bait-bait puisi lo yang gw suka:

Jika aku bangun berarti aku kuat...
Melawan para pecundang nan bangsat...
Aku telah kembali pada awal aku dilahirkan
Aku pulang seperti saat permulaan...
Kini harus kumulai perjalanan...
Yang tak akan pernah menjanjikan kemenangan

(Bermain Kata)

Kita hanya duduk di trotoar....
Sambil sesekali berkelakar...
Membagi bingung menanti hujan...
Nikmati bimbang dalam kedinginan...

(Di Sebuah Perhentian)

Jempolku hampir sekarat
Kutulis beratus pesan singkat...
Pesan untuk membuatmu mengingat...

(Pesan Singkat)

Sengaja gw ambil sebagian karena, selain untuk menghemat tempat di e-mail ini, gw rasa bait-bait itu yang paling kuat.

Tapi dalam puisi lo yang relatif panjang, bait-bait itu seakan terbenam.

Menurut gw puisi itu harus hemat kata. Tak perlu menggunakan 100 kata, misalnya, untuk mengungkapkan sesuatu yang bisa diungkapkan lewat satu-dua kata saja.

Jadi, simpul-simpul emosi yang mengalir untuk menjadi puisi itu pertama-tama harus dimampatkan dahulu. Dimampatkan, lalu diperam.

Kemudian saat tak mampu lagi menahannya, baru biarkan kata-kata itu tumpah. (Entah ke layar atau ke kertas)

Dan sayangnya, seperti juga menulis dalam bentuk lain, puisi tak berhak luput dari editing. Baca lagi! Coba tuliskan lagi dengan kata-kata yang berbeda! Potong! Ganti! Tambahkan atau kurangi!

Proses-proses itu diharapkan bisa mematangkan puisi yang dimaksud.

Nah. Meski sudah berbusa-busa begitu, gw akan tetap mengatakan ini: Kalau proses-proses itu menyulitkan, lupakan saja dan tulis puisi itu seenak hati.

Pada ujungnya, biarkan kata-kata mengalir dan jangan berhenti menulis. Tabur garam ke luka, tuang api ke bara!

Salam,


Wicak Hidayat

8.12.2005

menguji sebuah kesetiaan

Cinta bisa sedemikian setia, bahkan setelah disakiti. Demikian agaknya yang dituliskan Ken Fitria dalam puisinya berjudul 'dan kini'.

dan kini
kau dan aku tlah menjadi
entah untuk berapa kali
sejak kau kusakiti


Seperti apa sakit yang bisa membuat seseorang tetap bertahan. Mampukah Cinta bertahan usai sebuah penghianatan? Mungkin saja, mungkin juga tidak.

Atau mungkin rasa sakit yang muncul dari 'sekadar' ketidakpastian. Misalnya, soal masa depan yang tiba-tiba menjadi buram.

Apapun itu, jika Cinta bertahan, maka senyum pun masih bisa mengembang.

dan kini
senyummu manis mengembang
sejak malam kubuat kau menangis


Dan Cinta yang bertahan, akan terus bertahan.

dan kini
masih ada kau
disini

7.05.2005

Elegi Dari Mimpi

Membaca rangkaian 'Elegi Dari Mimpi'nya Wicak membuat saya harus bertahan untuk tidak menangis. Saya memaksa air mata untuk tetap berada ditempatnya sehingga tidak menenggelamkan bola mata saya tapi nyatanya penglihatan memudar dan saya harus mengusap pipi yang basah.

Rasanya setiap orang pasti mampu mengurai kata demi kata yang Wicak susun dalam bait demi bait elegi-nya itu. Tapi apakah kita bisa mengurai perasaan demi perasaan yang membelit hatinya dalam rangkaian mimpinya itu?

Ibu adalah 'manusia' paling istimewa yang diciptakan Tuhan untuk kita. Seperti kata Wicak dalam puisinya itu,

ketika aku terjatuh
ibu menuntunku bangun

ketika ibu terjatuh
aku terbuai mimpi dan khayalan

ketika aku menangis
ibu menyeka tangisku

ketika ibu menangis
aku diam muram


apa yang bisa kita perbuat selain diam ketika beliau-beliau, para ibu, menangis?

Tapi lihat lagi,

tapi siang itu
ketika kau masih terbaring lemah
aku hanya bisa menangis di sisimu
sementara kau dengan bijak menatapku
tanpa bisa bicara kau berkata
'mengapa menangis? kau tahu Ibu akan selalu ada untukmu'


lihat apa yang bisa mereka lakukan untuk kita ketika kita tengah lemah dan tak berdaya walau mereka sedang lelah sekalipun.

Bagi kita, anak-anak, hidup adalah nafas. Setiap waktu adalah keharusan untuk hidup dan bernafas dalam-dalam. Tidak boleh ada luka, tidak seharusnya ada tangis, tidak semestinya mimpi terkubur.

kita di pantai
pada sebuah pagi
kau menyiapkan bumbu
sambil cengkrama dengan istriku
cucu-cucumu yang gemuk-gemuk
berlarian
bapak menyiapkan panggangan
'api mulai hangat' katamu
'bakar ikannya mas' istriku berbisik
aku menatap ini bagai adegan dalam sebuah kartupos


Tapi ibu, setiap ibu, mengajarkan pada kita hidup. hidup yang sebenar-benarnya. Hidup yang nyata dan bukan dongeng. Hidup yang bolak balik. Hidup yang penuh nafas. Hidup yang hidup.

Membaca sekali lagi rangkaian 'Elegi dari Mimpi'nya Wicak akan memaksa kita pulang dan merangkul ibu kita erat-erat. Karena esok atau lusa kita takkan pernah tahu apakah kita bisa menangis di pangkuannya atau membasahi tanah merah yang merangkul dirinya (atau kita)?

Ibu, nyatanya nafasmu adalah sebagian hidupku..

4.12.2005

Kopi yang Berkesan

Sahabat saya Hatta menuliskan dengan segar sebuah impresi tentang bencana yang melanda Aceh dan sekitarnya awal tahun ini.

Puisi tersebut tangkas berkisah soal seorang kawan dan kisah yang dibawanya dari kampung halaman.

Mulai fragmen kedua (paragraf ke-4), saya tersentuh..

Mus, ini 28 Desember.
Dimana kau saat ini,
ketika seharusnya kita menatap OHP diruang kuliah
d bangku belakang?

Mus aku gagap dan
rindu sekali sapaan Assalamualikum khas kau, tu?

Mus, maafkan kawan-kawan disini
yang masih sibuk dengan masa depan
dan cuma bisa menampung beberapa ratus ribu untuk di sumbang
Padahal kalian semua berkubang dengan getir
yang entah di aksara mana bisa ku setarakan padanan nya

Mus. Dimana kau?
Lekas pulang dan imami kami.
Musholla kampus rindu caramu mengaji..


Betapa dampak sebuah bencana bisa terasa dahsyat lewat hal-hal kecil dan romantik seperti itu.

Empati terhadap seorang kawan, penderitaan yang dialaminya, begitu nyata. Tanpa harus cengeng, tanpa harus berlarat-larat.

Begitulah sahabat saya, yang mengajarkan saya untuk berpuisi, Mohammad Hatta (yang tahun ini Insya Allah akan segera menutup masa lajangnya) mengungkapkan impresinya tentang sebuah bencana. Dalam dan menyentuh tanpa harus berderai-derai air mata.

Salut kawan!

3.17.2005

Surat yang Resah

Sepucuk surat ini menang penghargaan 'My Dear valentine' dari Boleh.Com. Congrats buat Unie.

Sepucuk Surat Diantara Malam

Sayang, kutuliskan surat ini untukmu dan kukirimkan hanya untukmu. Sayang, di setiap goresan huruf-hurufku ini, dapatkah kau merasakan alunan rinduku?. Ya sayang, aku menuliskan surat ini disaat kau tak ada dan kau entah dimana. Hingga semalaman ini aku masih terjaga. Mungkin kau akan memberi kabar lewat hembusan angin malam, lewat bintang-bintang atau mungkin lewat sinar bulan. Dan aku akan setia duduk disini dengan penaku. Dan jika kau benar-benar datang nanti, akan kulukiskan indah rupa sosokmu. Kan kutuliskan setiap momen saat-saat bersamamu.Dan nanti akan kusimpan di lubuk hatiku yang terdalam.

Sayang, sudahkah kau temukan apa yang kau cari? Sayang, kemanapun kau pergi, aku akan selalu berada disisimu. Di setiap langkahmu, aku adalah bayang jejakmu. Di setiap perjalananmu, aku akan berada di ujung jalan yang kau tuju. Jangan pernah sedih dan gelisah, karena aku selalu berada di dalam mimpimu. Dan pada saatnya nanti, aku akan menunggu di dermaga kasih untukmu.

Sayang, masih banyak yang ingin kutuliskan untukmu. Kata kasih dan rindu untukmu. Karena dalam kemayaan yang ada, cintamu adalah kenyataan yang sempurna

Luv,
-Nie

3.16.2005

Janji Sebuah Petualangan

Kata Petualangan bisa berarti banyak. Petualangan bisa merujuk pada 'bepergian dan tidak tinggal menetap' dan atau 'mengembara' (mengembara sendiri bisa punya banyak arti) tapi petualangan bisa juga mempunyai arti yang 'negatif' yaitu sebuah perbuatan yang dilakukan dengan tidak jujur.


janji sebuah petualangan
selalu memikat

undangan ke pantai, pulau terpencil
ke hutan, menerabas belukar

berjalan di permadani bumi yang luas
menemukan apa yang belum pernah ditemukan

ajakan ke lautan
menarik gelombang seperti tambang

janji sebuah petualangan
selalu memikat


Petualangan memang selalu memikat. Hal yang baru selalu menggoda. Setiap petualangan punya persimpangan. Jalan mana yg harus ditempuh?

This is one of my fav poetry.

Kriing-nya bang Andi..

Puisi 'Kriing....' yang dituliskan oleh Andi Sururi di sururi.blogspot.com menurut saya:

Pemilihan kata 'kamu' memang bisa menunjukkan keakraban tertentu. Kriing juga bisa berarti banyak, tapi di sini saya anggap ini adalah dering telepon.

Kriing…
Kamu?
Ooh, kamu…

Kriing…
Kamu?
Sebentar...


Kriing…
Kamu?
Salah sambung!


Seperti puisi lain yang sarat makna. Bait ini bisa juga diartikan 'keengganan' 'si penerima telepon'-saya lebih suka menyebutnya begitu- untuk menerima telepon (entah dari siapa? dari penulis?)Makanya si kamu ini 'mengungkapkan' alasan seperti sebentar.. dan salah sambung!untuk 'mengacuhkan' telepon itu.


Kriing…
Kamu?
Ini aku….


Happy ending?.. paling tidak si penerima telepon membiarkan si penelepon 'memperkenalkan' dirinya.. :D