11.28.2005

Tabur garam ke luka, Tuang api ke bara!

Dear Dewi,

Pertama gw mau bilang congrats! Karena sudah berani menyusun kata-kata dalam apa yang disebut sebagai puisi.

Kedua, jangan menyerah! Apapun yang dikatakan orang soal puisi.

Pujian jangan jadi helium yang menggelembungkan kepala, kritikan jangan juga dijadikan jarum yang mengempiskan semangat.

Sudah dua itu, sekarang gw mau memulai sok tahu dan mengomentari puisi-puisi yang lo kirimin.

:p

Sebelumnya gw kutipkan dulu bait-bait puisi lo yang gw suka:

Jika aku bangun berarti aku kuat...
Melawan para pecundang nan bangsat...
Aku telah kembali pada awal aku dilahirkan
Aku pulang seperti saat permulaan...
Kini harus kumulai perjalanan...
Yang tak akan pernah menjanjikan kemenangan

(Bermain Kata)

Kita hanya duduk di trotoar....
Sambil sesekali berkelakar...
Membagi bingung menanti hujan...
Nikmati bimbang dalam kedinginan...

(Di Sebuah Perhentian)

Jempolku hampir sekarat
Kutulis beratus pesan singkat...
Pesan untuk membuatmu mengingat...

(Pesan Singkat)

Sengaja gw ambil sebagian karena, selain untuk menghemat tempat di e-mail ini, gw rasa bait-bait itu yang paling kuat.

Tapi dalam puisi lo yang relatif panjang, bait-bait itu seakan terbenam.

Menurut gw puisi itu harus hemat kata. Tak perlu menggunakan 100 kata, misalnya, untuk mengungkapkan sesuatu yang bisa diungkapkan lewat satu-dua kata saja.

Jadi, simpul-simpul emosi yang mengalir untuk menjadi puisi itu pertama-tama harus dimampatkan dahulu. Dimampatkan, lalu diperam.

Kemudian saat tak mampu lagi menahannya, baru biarkan kata-kata itu tumpah. (Entah ke layar atau ke kertas)

Dan sayangnya, seperti juga menulis dalam bentuk lain, puisi tak berhak luput dari editing. Baca lagi! Coba tuliskan lagi dengan kata-kata yang berbeda! Potong! Ganti! Tambahkan atau kurangi!

Proses-proses itu diharapkan bisa mematangkan puisi yang dimaksud.

Nah. Meski sudah berbusa-busa begitu, gw akan tetap mengatakan ini: Kalau proses-proses itu menyulitkan, lupakan saja dan tulis puisi itu seenak hati.

Pada ujungnya, biarkan kata-kata mengalir dan jangan berhenti menulis. Tabur garam ke luka, tuang api ke bara!

Salam,


Wicak Hidayat

0 Comments:

Post a Comment

<< Home