7.05.2005

Elegi Dari Mimpi

Membaca rangkaian 'Elegi Dari Mimpi'nya Wicak membuat saya harus bertahan untuk tidak menangis. Saya memaksa air mata untuk tetap berada ditempatnya sehingga tidak menenggelamkan bola mata saya tapi nyatanya penglihatan memudar dan saya harus mengusap pipi yang basah.

Rasanya setiap orang pasti mampu mengurai kata demi kata yang Wicak susun dalam bait demi bait elegi-nya itu. Tapi apakah kita bisa mengurai perasaan demi perasaan yang membelit hatinya dalam rangkaian mimpinya itu?

Ibu adalah 'manusia' paling istimewa yang diciptakan Tuhan untuk kita. Seperti kata Wicak dalam puisinya itu,

ketika aku terjatuh
ibu menuntunku bangun

ketika ibu terjatuh
aku terbuai mimpi dan khayalan

ketika aku menangis
ibu menyeka tangisku

ketika ibu menangis
aku diam muram


apa yang bisa kita perbuat selain diam ketika beliau-beliau, para ibu, menangis?

Tapi lihat lagi,

tapi siang itu
ketika kau masih terbaring lemah
aku hanya bisa menangis di sisimu
sementara kau dengan bijak menatapku
tanpa bisa bicara kau berkata
'mengapa menangis? kau tahu Ibu akan selalu ada untukmu'


lihat apa yang bisa mereka lakukan untuk kita ketika kita tengah lemah dan tak berdaya walau mereka sedang lelah sekalipun.

Bagi kita, anak-anak, hidup adalah nafas. Setiap waktu adalah keharusan untuk hidup dan bernafas dalam-dalam. Tidak boleh ada luka, tidak seharusnya ada tangis, tidak semestinya mimpi terkubur.

kita di pantai
pada sebuah pagi
kau menyiapkan bumbu
sambil cengkrama dengan istriku
cucu-cucumu yang gemuk-gemuk
berlarian
bapak menyiapkan panggangan
'api mulai hangat' katamu
'bakar ikannya mas' istriku berbisik
aku menatap ini bagai adegan dalam sebuah kartupos


Tapi ibu, setiap ibu, mengajarkan pada kita hidup. hidup yang sebenar-benarnya. Hidup yang nyata dan bukan dongeng. Hidup yang bolak balik. Hidup yang penuh nafas. Hidup yang hidup.

Membaca sekali lagi rangkaian 'Elegi dari Mimpi'nya Wicak akan memaksa kita pulang dan merangkul ibu kita erat-erat. Karena esok atau lusa kita takkan pernah tahu apakah kita bisa menangis di pangkuannya atau membasahi tanah merah yang merangkul dirinya (atau kita)?

Ibu, nyatanya nafasmu adalah sebagian hidupku..